Sabtu, 30 April 2016

PARANGTRITIS TIDAK SEDANG BAIK-BAIK SAJA






            Parangtritis, siapa yang tidak mengenal nama tersebut? sebuah pantai yang namanya sudah tidak asing lagi di masyarakat Indonesia bahkan mancanegara. Berbagai keindahan dan keunikan serta kesan-kesan mistisnya yang tidak ditemukan di pantai lain menjadikan pantai ini begitu dikenal sebagai ikon dari laut selatan pulau Jawa. Tak hanya pantai nya saja yang indah dan mempesona, tapi juga daerah sekitarnya menyimpan berbagai keajaiban alam yang menjadi tempat-tempat wisata yang juga menjadi andalan daerah Parangtritis. Namun, dibalik tersohornya nama Parangtritis, pernahkan anda membayangkan bagaimana keadaan di daerah yang bersangkutan tersebut? disnilah tim para Goegraf Indonesia melakukan sedikit perjalanan pada 23 April 2016 lalu, dengan tujuan menguak bagaiamana keadaan Parangtritis yang sedang tidak baik-baik saja.


Parangtritis dilihat dari berbagai angle

            Masalah utama yang menjadi titik bahasan disini adalah keadaan gumuk pasir di Parangtritis. Bagi yang belum mengetahui, gumuk pasir adalah salah satu bentangalam atau kenampakan yang dipicu oleh tenaga angin atau eolin. Kenampakan ini lazimnya terbentuk di daerah gurun, dimana material pasir yang tersedia berlimpah serta angin yang dapat bertiup secara optimal tanpa halangan yang berarti. Namun, kenampakan ini terdapat di Indonesia, yakni di Parangtritis yang notabene adalah negara tropis basah. Hal ini tentu seharusya menjadi kebanggaan dan  dilestarikan keberadaannya. Ironisnya, kesadaran mengenai urgensi pelestarian gumuk pasir baru mulai disebarluaskan akhir-akhir ini saja disaat keadaan gumuk pasir tersebut sudah banyak mengalami perubahan akibat campur tangan manusia.
            Kerusakan demi kerusakan telah banyak terjadi pada gumuk pasir yang baru disadari arti penting nya oleh masyarakat. Bahkan tak hanya masyarakat, Negara pun turut ambil andil dalam pengrusakan gumuk pasir tersebut. Terbukti dari adanya kebijakan dari menteri kehutanan yang menghijaukan wilayah gumuk pasir yaitu dengan penanaman vegetasi. Padahal, penanaman tersebut justru akan merusak dan menghambat pembentukan gumuk pasir. Vegetasi yang ada justru menghambat laju angin dalam pengangkutan material pasir sehingga gumuk pasir yang ada pun menjadi tidak berkembang lagi. Menurut, Sunarto, salah seorang guru besar di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada seperti yang dilansir dari tribunnews (2014/04/03), kebijakan mentri kehutanan dalam penghijauan wilayah gumuk pasir disebabkan karena pemahaman agrogenik yang mayoritas menjadi paham orang-orang kehutanan. Mereka akan cenderung ingin menghijaukan daerah yang gersang dan tandus, seperti hal nya dengan gumuk pasir. Jika sudah demikian, apakah sesungguhnya pemahaman untuk penghijauan wilayah gersang itu dianggap salah? Sebenarnya pemahaman tersebut sama sekali tidak salah, hanya saja tidak semua wilayah dapat dilakukan penghijauan, seperti contohnya adalah wilayah gumuk pasir. Seharusnya dalam melakukan pembuatan kebijakan hendaknya dilakukan  observasi yang mendalam dan pertimbangan-pertimbangan dari berbagai sisi. Namun, kembali lagi pada lemahnya Indonesia dalam pembuatan kebijakan, dimana keputusan cenderung hanya condong pada pihak-pihak tertentu saja, sehingga kebijakan yang telah dibuat pun terkadang banyak kesalahan didalamnya.

Penghijauan dengan penanaman vegetasi di wilayah Gumuk Pasir Parangtritis

            Masalah di wilayah gumuk pasir ternyata tidak hanya datang dari kesalahan pemerintah dalam pembuatan kebijakan saja, masalah tersebut juga datang dari ketidaktahuan masyarakat akan pentinganya pelesatarian gumuk pasir di daerah mereka. Salah satu contohnya adalah keberadaan tambak udang di wilayah gumuk. Menurut Sunarto, guru besar ahli gumuk pasir fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada National Geographic (2015/02/05), tambak udang, secara ekonomi memang menguntungkan petani, namun lokasi nya ternyata banyak yang melanggar sempadan sungai, sempadan pantai dan sempadan jalan. Selain itu, tambak udang banyak memerlukan air asin, dalam memenuhi kebutuhan air asin, banyak petambak yang memompa langsung dari laut, sementara kebutuhan air tawar nya diambil dengan cara mengebor tanah, padahal, keadaan airtanah di sepanjang pantai selatan Jawa bisa dibilang cukup minim karena hanya bersumber dari air hujan, sehingga penggunaannya harus hati-hati. Tidak hanya itu, ternyata para penambak di wilayah gumuk juga membuang limbahnya langsung pada pantai melalui pipa-pipa yang juga berfungsi sebagai pengambilan air asin. Menurut Budianto, salah seorang aktivis Save Our Dunes Live kepada Tempo (2015/04/22), tambak-tambak tersebut  ketika panen membuang limbahnya ke laut dan menyebabkan bau yang menyengat hingga membuat banyak wisatawan mengeluh. Hal itu selain menjadi masalah dalam pengelolaan wisata, tentu juga menjadi masalah dalam segi ekologi lingkungan.
salah satu tambak di wilayah gumuk pasir Parangtritis

            Permasalahan terakhir yang dapat penulis temui di gumuk pasir Parangtritis adalah pendataran muka gumuk pasir oleh warga sekitar serta penambangan pasir secara liar. Warga sekitar gumuk sering menggunakan gumuk pasir sebagai tanah lapang yang luas dalam kegiatan keagamaan, salah satunya adalah sholat Idl Fitri atau Idl Adha. Relief gumuk pasir yang begelombang dan seharusnya membentuk pola barchan atau bulan sabit menjadi banyak yang datar karena sengaja untuk kepentingan kegiatan keagamaan. Saat ini, apabila kita datang ke gumuk pasir, maka pola barchan sudah tidak dapat kita temui lagi. Sepanjang mata memandang, hanya lautan pasir yang berbukit-bukit tanpa pola khas dari kenampakan asli gumuk tersebut. Bahkan, Eko Haryono, salah satu dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dalam salah satu kegiatan lapangan (2016/04/30), mengatakan bahwa dengan melihat keadaan yang demikian, dapat dipastikan bahwa gumuk pasir Parangtritis sudah tidak dapat berkembang lagi dan akan “mati” di masa mendatang nanti. Kemudian, di beberapa bagian gumuk pasir yang dekat dengan pemukiman, penulis menemukan penambangan pasir liar. Penambangan ini memang belum dilakukan dalam skala besar. Diasumsikan, penambangan itu justru dilakukan olah penduduk sekitar yang membutuhkan pasir dan kemudian memutuskan untuk menggunakan pasir yang banyak terdapat di lingkungan sekitarnya tanpa mengetahui bahwa itu merupakan bagian dari gumuk pasir. Apabila dibiarkan, penambangan tersebut tidak hanya akan dilakukan oleh satu atau dua orang saja, melainkan bisa bertambah menjadi semakin  banyak dan pada akhirnya merusak bentukan dari gumuk pasir.
pengerukan atau penambagan pasir di salah satu sisi gumuk pasir di Parangtritis

kenampakan gumuk pasir yang landai dan berbukit tanpa pola asli nya, barchan


            Permasalahan utama di daerah Parangtritis memang banyak berkaitan dengan gumuk pasir, namun ternyata permasalahan juga terdapat di sumber air panas, Parangwedang. Hasil dari wawancara yang penulis dan tim peneliti lakukan pada 2016/04/23 pada pengelola, ternyata selama ini sudah ada 2 kamar pemandian yang ditutup karena saat di alirkan, air yang keluar bukanlah air panas seperti yang diharapkan, melainkan air dingin biasa. Pada sumber air panas ini telah terjadi penyusutan dalam pengeluaran mata air panas. Sekedar informasi, sumber air panas ini merupakan hasil sampingan dari aktivitas vulkanik.

kolam utama sumber air panas Parangwedang yang tidak terbuka untuk umum

pengelola sumber air panas yang sedang diwawancara

Sebelumnya pada zaman tersier tepatnya pada kala oligosen akhir hingga miosen awal, di daerah Parangtritis diduga terdapat gunungapi purba yang jauh lebih tua dari gunungapi Merapi. Hasil sampingan dari aktivitas vulkanik ini salah satunya adalah munculnya sumber air panas di daerah Parangwedang. Keberadaan sumber air panas sendiri sebenarnya muncul saat, ada tekanan dan aliran panas dari magma di bawah lapisan bumi yang mana memanaskan airtanah yang berada tepat diatasnya, yang terjebak pada batuan impermeable. Suatu ketika, apabila airtanah tersebut muncul di permukaan, maka akan menjadi sumber mata air panas. Berkurangnya air panas yang keluar dapat diduga sebagai melemahnya aliran panas dari magma yang ditandai dengan air yang keluar merupakan air dingin biasa. Bisa dikatakan sumber panas (magma) dari airtanah tersebut mengalami pembekuan karena telah aktif sejak jutaan tahun yang lalu. Selain itu, mungkin juga terjadi pembelokan arus intrusi atau dapur magma seperti yang terjadi di daerah pulau Kalimantan.

Sekian yang dapat penulis sampaikan, salam hangat dari Yogyakarta berhati tenang...
penulis dan tim beserta dosen pengampu

Note : sumber foto murni hasil pemotretan/milik pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar