Parangtritis, siapa yang tidak
mengenal nama tersebut? sebuah pantai yang namanya sudah tidak asing lagi di
masyarakat Indonesia bahkan mancanegara. Berbagai keindahan dan keunikan serta
kesan-kesan mistisnya yang tidak ditemukan di pantai lain menjadikan pantai ini
begitu dikenal sebagai ikon dari laut selatan pulau Jawa. Tak hanya pantai nya
saja yang indah dan mempesona, tapi juga daerah sekitarnya menyimpan berbagai
keajaiban alam yang menjadi tempat-tempat wisata yang juga menjadi andalan
daerah Parangtritis. Namun, dibalik tersohornya nama Parangtritis, pernahkan
anda membayangkan bagaimana keadaan di daerah yang bersangkutan tersebut?
disnilah tim para Goegraf Indonesia melakukan sedikit perjalanan pada 23 April
2016 lalu, dengan tujuan menguak bagaiamana keadaan Parangtritis yang sedang
tidak baik-baik saja.
Parangtritis dilihat dari berbagai angle
Masalah utama yang menjadi titik
bahasan disini adalah keadaan gumuk pasir di Parangtritis. Bagi yang belum
mengetahui, gumuk pasir adalah salah satu bentangalam atau kenampakan yang
dipicu oleh tenaga angin atau eolin. Kenampakan ini lazimnya terbentuk di
daerah gurun, dimana material pasir yang tersedia berlimpah serta angin yang
dapat bertiup secara optimal tanpa halangan yang berarti. Namun, kenampakan ini
terdapat di Indonesia, yakni di Parangtritis yang notabene adalah negara tropis
basah. Hal ini tentu seharusya menjadi kebanggaan dan dilestarikan keberadaannya. Ironisnya,
kesadaran mengenai urgensi pelestarian gumuk pasir baru mulai disebarluaskan
akhir-akhir ini saja disaat keadaan gumuk pasir tersebut sudah banyak mengalami
perubahan akibat campur tangan manusia.
Kerusakan demi kerusakan telah
banyak terjadi pada gumuk pasir yang baru disadari arti penting nya oleh
masyarakat. Bahkan tak hanya masyarakat, Negara pun turut ambil andil dalam
pengrusakan gumuk pasir tersebut. Terbukti dari adanya kebijakan dari menteri
kehutanan yang menghijaukan wilayah gumuk pasir yaitu dengan penanaman vegetasi.
Padahal, penanaman tersebut justru akan merusak dan menghambat pembentukan
gumuk pasir. Vegetasi yang ada justru menghambat laju angin dalam pengangkutan
material pasir sehingga gumuk pasir yang ada pun menjadi tidak berkembang lagi.
Menurut, Sunarto, salah seorang guru besar di Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada seperti yang dilansir dari tribunnews (2014/04/03), kebijakan
mentri kehutanan dalam penghijauan wilayah gumuk pasir disebabkan karena
pemahaman agrogenik yang mayoritas menjadi paham orang-orang kehutanan. Mereka
akan cenderung ingin menghijaukan daerah yang gersang dan tandus, seperti hal
nya dengan gumuk pasir. Jika sudah demikian, apakah sesungguhnya pemahaman
untuk penghijauan wilayah gersang itu dianggap salah? Sebenarnya pemahaman
tersebut sama sekali tidak salah, hanya saja tidak semua wilayah dapat
dilakukan penghijauan, seperti contohnya adalah wilayah gumuk pasir. Seharusnya
dalam melakukan pembuatan kebijakan hendaknya dilakukan observasi yang mendalam dan
pertimbangan-pertimbangan dari berbagai sisi. Namun, kembali lagi pada lemahnya
Indonesia dalam pembuatan kebijakan, dimana keputusan cenderung hanya condong
pada pihak-pihak tertentu saja, sehingga kebijakan yang telah dibuat pun
terkadang banyak kesalahan didalamnya.
Penghijauan dengan penanaman vegetasi di wilayah Gumuk Pasir Parangtritis
Masalah di wilayah gumuk pasir
ternyata tidak hanya datang dari kesalahan pemerintah dalam pembuatan kebijakan
saja, masalah tersebut juga datang dari ketidaktahuan masyarakat akan
pentinganya pelesatarian gumuk pasir di daerah mereka. Salah satu contohnya
adalah keberadaan tambak udang di wilayah gumuk. Menurut Sunarto, guru besar
ahli gumuk pasir fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada National
Geographic (2015/02/05), tambak udang, secara ekonomi memang menguntungkan
petani, namun lokasi nya ternyata banyak yang melanggar sempadan sungai,
sempadan pantai dan sempadan jalan. Selain itu, tambak udang banyak memerlukan
air asin, dalam memenuhi kebutuhan air asin, banyak petambak yang memompa
langsung dari laut, sementara kebutuhan air tawar nya diambil dengan cara
mengebor tanah, padahal, keadaan airtanah di sepanjang pantai selatan Jawa bisa
dibilang cukup minim karena hanya bersumber dari air hujan, sehingga
penggunaannya harus hati-hati. Tidak hanya itu, ternyata para penambak di
wilayah gumuk juga membuang limbahnya langsung pada pantai melalui pipa-pipa
yang juga berfungsi sebagai pengambilan air asin. Menurut Budianto, salah
seorang aktivis Save Our Dunes Live kepada Tempo (2015/04/22), tambak-tambak
tersebut ketika panen membuang limbahnya
ke laut dan menyebabkan bau yang menyengat hingga membuat banyak wisatawan
mengeluh. Hal itu selain menjadi masalah dalam pengelolaan wisata, tentu juga
menjadi masalah dalam segi ekologi lingkungan.
salah satu tambak di wilayah gumuk pasir Parangtritis
Permasalahan terakhir yang dapat
penulis temui di gumuk pasir Parangtritis adalah pendataran muka gumuk pasir
oleh warga sekitar serta penambangan pasir secara liar. Warga sekitar gumuk
sering menggunakan gumuk pasir sebagai tanah lapang yang luas dalam kegiatan
keagamaan, salah satunya adalah sholat Idl Fitri atau Idl Adha. Relief gumuk
pasir yang begelombang dan seharusnya membentuk pola barchan atau bulan sabit
menjadi banyak yang datar karena sengaja untuk kepentingan kegiatan keagamaan.
Saat ini, apabila kita datang ke gumuk pasir, maka pola barchan sudah tidak
dapat kita temui lagi. Sepanjang mata memandang, hanya lautan pasir yang
berbukit-bukit tanpa pola khas dari kenampakan asli gumuk tersebut. Bahkan, Eko
Haryono, salah satu dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dalam salah
satu kegiatan lapangan (2016/04/30), mengatakan bahwa dengan melihat keadaan
yang demikian, dapat dipastikan bahwa gumuk pasir Parangtritis sudah tidak
dapat berkembang lagi dan akan “mati” di masa mendatang nanti. Kemudian, di
beberapa bagian gumuk pasir yang dekat dengan pemukiman, penulis menemukan
penambangan pasir liar. Penambangan ini memang belum dilakukan dalam skala
besar. Diasumsikan, penambangan itu justru dilakukan olah penduduk sekitar yang
membutuhkan pasir dan kemudian memutuskan untuk menggunakan pasir yang banyak
terdapat di lingkungan sekitarnya tanpa mengetahui bahwa itu merupakan bagian
dari gumuk pasir. Apabila dibiarkan, penambangan tersebut tidak hanya akan
dilakukan oleh satu atau dua orang saja, melainkan bisa bertambah menjadi
semakin banyak dan pada akhirnya merusak
bentukan dari gumuk pasir.
pengerukan atau penambagan pasir di salah satu sisi gumuk pasir di Parangtritis
kenampakan gumuk pasir yang landai dan berbukit tanpa pola asli nya, barchan
Permasalahan utama di daerah
Parangtritis memang banyak berkaitan dengan gumuk pasir, namun ternyata
permasalahan juga terdapat di sumber air panas, Parangwedang. Hasil dari
wawancara yang penulis dan tim peneliti lakukan pada 2016/04/23 pada pengelola,
ternyata selama ini sudah ada 2 kamar pemandian yang ditutup karena saat di
alirkan, air yang keluar bukanlah air panas seperti yang diharapkan, melainkan
air dingin biasa. Pada sumber air panas ini telah terjadi penyusutan dalam
pengeluaran mata air panas. Sekedar informasi, sumber air panas ini merupakan
hasil sampingan dari aktivitas vulkanik.
kolam utama sumber air panas Parangwedang yang tidak terbuka untuk umum
pengelola sumber air panas yang sedang diwawancara
Sebelumnya pada zaman tersier tepatnya
pada kala oligosen akhir hingga miosen awal, di daerah Parangtritis diduga
terdapat gunungapi purba yang jauh lebih tua dari gunungapi Merapi. Hasil
sampingan dari aktivitas vulkanik ini salah satunya adalah munculnya sumber air
panas di daerah Parangwedang. Keberadaan sumber air panas sendiri sebenarnya
muncul saat, ada tekanan dan aliran panas dari magma di bawah lapisan bumi yang
mana memanaskan airtanah yang berada tepat diatasnya, yang terjebak pada batuan
impermeable. Suatu ketika, apabila airtanah tersebut muncul di permukaan, maka
akan menjadi sumber mata air panas. Berkurangnya air panas yang keluar dapat
diduga sebagai melemahnya aliran panas dari magma yang ditandai dengan air yang
keluar merupakan air dingin biasa. Bisa dikatakan sumber panas (magma) dari
airtanah tersebut mengalami pembekuan karena telah aktif sejak jutaan tahun
yang lalu. Selain itu, mungkin juga terjadi pembelokan arus intrusi atau dapur
magma seperti yang terjadi di daerah pulau Kalimantan.
Sekian yang dapat penulis sampaikan, salam hangat dari Yogyakarta berhati tenang...
penulis dan tim beserta dosen pengampu
Note : sumber foto murni hasil pemotretan/milik pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar