Kegiatan KKL 1 yang menjadi ciri
khas bagi mahasiswa fakultas Geografi UGM untuk pertama kalinya di tahun 2016
ini menyelenggarakan kegiatan pra KKL 1. Pada kegiatan ini, seluruh mahasiswa
peserta KKL 1 dibagi menjadi beberapa kelompok dan ditugaskan untuk
mengobservasi daerah kajian yang berbeda-beda di Yogyakarta dan sekitarnya.
Observasi ini banyak melibatkan keaktifan mahasiswa dan hanya didukung oleh
seorang dosen pembimbing. Kelompok C1 merupakan kelompok yang bertugas di
daerah Parangtritis, dimana kami menemukan berbagai fenomena dan keindahan
Parangtritis yang dibalut oleh nuansa mistis yang sangat kental.
Observasi di daerah Parangtritis
mencakup 6 stopsite yang merupakan tempat wisata utama di Parangtritis. Pada
setiap stopsite kami mengamati dan menganalisa aspek fisik dan budaya dari
daerah yang bersangkutan. Stopsite pertama yang kami kunjungi adalah makam
syekh Belabelu yang berada di atas bukit berbatu hasil dari intrusi batuan beku
akibat aktivitas vulkanik pada zaman tersier. Syekh Belabelu merupakan salah
satu penyebar agam Islam di daerah selatan Yogya bersama dengan Syekh Maulana
Ibrahim. Makam ini hingga sekarang sering dijadikan sebagai tempat ziarah yang
dikeramatkan dan selalu ramai dikunjungi setiap jumat kliwon dan bulan syura. Keadaan
masyarakat disekitar makam tersebut mayoritas merupakan orang yang telah
berumur dan berumah tangga, sementara para pemuda nya banyak yang merantau ke
luar kota atau Provinsi. Mereka banyak menggantungkan pendapatan sehari-hari
mereka pada sector pariwisata meski sebagian warganya juga ada yang berprofesi
sebagai petani.
Stopsite kedua yang kami kunjungi
adalah sumber air panas Parangwedang yang berada tak jauh, kira-kira 100 m di
selatan makam syekh Bela-belu dan berada tepat di dasar lereng cliff Baturagung
dan formasi nglanggeran. Pada pemandian sumber air panas ini bahkan ada dua
buah kamar mandi air panas yang tidak dibuka untuk umum karena merupakan tempat
yang menjadi pemandian keluarga keraton. Sumber air panas ini muncul juga
karena hasil samping dari aktivitas magmatic purba kala oligosen yang energy
panasnya(magma) merambat menembus batuan beku dan memanaskan airtanah yang
tepat berada di atasnya. Namun, terdapat isu menarik dari sumber air panas ini,
yakni penyusutan airpanas yang keluar dari sumber. Hingga saat ini, telah ada
dua kamar pemandian yang ditutup karena saat dipompa, air yang keluar bukanlah
air panas, melainkan air dingin biasa.
Selanjutnya, berada beberapa ratus
meter kearah barat dari Parangwedang, kami mengunjungi watu gilang atau Cepuri
yang menyimpan kisah mistis dari keraton Yogyakarta dan ikon laut selatan, nyi
Roro Kidul. Konon, batu ini merupakan tempat bertemunya panembahan senopati
dengan nyi roro Kidul untuk meminta kelancaran dalam membangun sebuah kerajaan.
Secara ilmiah, batu ini merupakan lava flow, yakni ekstruksi lava bersifat
aliran hasil dari aktivitas vulkanik pada kala oligosen akhir hingga miosen
awal. Pada watu gilang, terdapat juru kunci yang merupakan salah satu dari 40
juru kunci yang tersebar di seluruh daerah yang dianggap mistis di wilayah
Yogyakarta oleh Keraton.
Selanjutnya, kami mengunjungi ikon
utama dari daerah Parangtritis, yaitu pantai Parangtritis itu sendiri. Pantai
ini memiliki gelombang yang besar karena berbatasan langsung dengan samudera
Hindia. Beberapa kali pernah terjadi kasus wisatawan yang terseret ombak ke
laut dan hilang, hal ini banyak disangkutpautkan dengan mitos tentang nyi roro
kidul serta larangan berbaju hijau di pantai. Padahal, penjelasan secara ilmiah
nya, hal itu terjadi karena pantai ini memiliki tipe arus Rip Current, yang
dapat membawa material dari pantai ke laut lepas dengan kekuatan besar. Rip
Current muncul akibat pertemuan dua gelombang yang saling bertabrakan di tepi
pantai. Sementara hilangnya wisatawan dikarenakan tak jauh dari tepi pantai,
kira-kira 1 km, terdapat bagian sesar yang dalam dan merupakan tempat
sedimentasi material yang terbawa ombak. Kemudian, mitos mengenai larangan
berbaju hijau adalah dikarenakan air laut ditepi pantai dominan berwarna
kehijauan, sehingga apabila wisatawan terseret, maka keberadaannya akan
tersamarkan ditengah deburan ombak dan air laut dan tidak langsung disadari
oleh orang lain. Terlepas dari kisah mistis yang mengakar kuat di pantai
tersebut, Parangtritis tidak dapat dipungkiri keindahannya,
Stopsite selanjutnya yang kami
kunjungi adalah cliff batu gamping tak jauh dari pantai Parangtritis. Medan
menuju cliff memang sangat berbahaya dengan turunan serta tanjakan yang curam,
namun sesampainya kami diatas cliff yang berhubungan langsung dengan pantai
tersebut, semua perjuangan kami seolah tidak ada artinya dibandingkan dengan
suguhan panorama sunset yang luar biasa indah dilihat dari atas cliff. Cliff
yang kami datangi ini sering dijadikan sebagai lokasi untuk paralayang. Keadaan
social budayanya tidak terlihat karena daerah pemukiman baru mulai ada di
daerah yang relative datar di lereng bawah cliff.
Selanjutnya, destinasi terakhir kami
di daerah Parangtritis adalah wilayah gumuk pasir. Wilayah ini baru saja dibuka
menjadi objek wisata sejak setahun yang lalu, berdasarkan wawancara yang kami
lakukan pada salah satu pengelola gumuk pasir. Organisasi pemuda di desa tempat
gumuk pasir itu berada adalah yang bertanggung jawab dalam memanajemen dan
mengelola gumuk pasir tersebut. Pada wilayah gumuk ini kami menemukan berbagai
isu-isu menarik yang terjadi didalamnya, yaitu mengenai kesalahan dalam
pengambilan kebijakan oleh mentri kehutanan saat menghijaukan wilayah gumuk,
penambangan pasir liar oleh warga sekitar, pendataran badan gumuk yang
seharusnya berpola bulan sabit (barchans) serta tambak liar yang mengalirkan
limbahnya langsung ke pantai dan mengganggu ekologi lingkungan disekitarnya.
Semua observasi yang kami lakukan ini memang belum masuk penelitian skala
besar. Namun,. Apabila mahasiswa tidak ada yang peduli terhadap kekayaan budaya
dan wisata negeri nya, lantas siapa lagi yang akan melestarikan dan memajukan
Indonesia di masa mendatang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar